Inilah tiga puisi yang menurutku
merupakan ''Puisi Terbaik" sepanjang zaman. Puisi ini memberiku segudang
inspirasi dan motivasi. selamat membaca.
Puisi III
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Karya: Chairil Anwar
Maret 1943
baca juga puisi:
Puisi I
Puisi II
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rendang, 7 Mei 2012
Trianandika
Puisi III
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Karya: Chairil Anwar
Maret 1943
baca juga puisi:
Puisi I
Puisi II
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Analisisku:
Puisi aku
adalah puisi terkenal dan terkemuka karya seorang penyair kenamaan Indonesia,
angkatan ’45. Dalam puisi ini, Chairil Anwar mematrikan tema tentang pemberontakan
dari segala penindasan
"Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau"
Dalam baris
pertama sampai baris ketiga, menggambarkan keinginan penulis (Aku) keluar dari
belenggu yang mengekangnya, kekhawatiran akan kematian. Ia tidak mau dibodohi atau
diperdaya, diperalat bahkan oleh orang terdekatnya (Kau).
"Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang"
Si Aku
tidak ingin membebani orang-orang di dekatnya, tidak ingin membuat ‘sedu-sedan’.ia
tidak ingin mendapatkan belas kasihan. Ia
berharap semua orang bisa melepasnya ketika ajal menjemput. bahkan ia menyebut dirinya binatang jalang (makhluk hina).
"Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri"
Bait ini
menggambarkan tentang kebulatan tekatnya. Ia akan terus memberontak, biar
bahaya menyerangnya dia akan tetap meradang dan menerjang. Kendati demikian,
Chairil tidak mau membebani siapapun, ia akan menanggungnya sendiri. Ia percaya
semua rasa yang ia alami kini-pedih peri- akan hilang seiring berjalannya waktu.
"Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi"
Chairil ingin
dirinya tetap ada. Walau raga tak kuat menahan gerusan usia namun karyanya
tidak akan pernah lekang termakan waktu “hingga seribu tahun lagi.”
Trianandika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar